Salah satu buku parenting paling awal yang saya miliki adalah Discipline: A Sourcebook of 50 Failsafe Techniques for Parents tulisan James Windell, seorang psikoterapis Amerika yang mengkhususkan diri menangani masalah-masalah keluarga.
Buku ini saya beli dari toko buku bekas khusus buku-buku impor dengan harga sangat murah, tetapi isinya sungguh mencerahkan bagi saya sebagai ibu anyaran waktu itu. Windell menyampaikan poin-poinnya secara tegas tapi sederhana, dengan berbagai contoh kasus yang pas, sehingga membuat saya mudah memahami penerapannya.
Sekalipun sekarang saya sudah membaca lebih banyak buku dan bisa bersikap lebih kritis terhadap sudut pandang Windell tentang disiplin, saya tetap menganggap ada beberapa bab dalam bukunya yang sangat layak untuk dibaca oleh lebih banyak orangtua. Untuk itu, mulai dari posting hari ini hingga beberapa kali posting mendatang, saya berencana menyajikan secara berseri saduran bebas dari bagian-bagian bukunya itu. Diskusi tentang poin-poin Windell saya persilahkan.
Kekerasan fisik. Ini adalah teknik disiplin terburuk nomor satu yang ada di daftar Bab Kedua buku Windell, yang ia beri judul “Sepuluh Teknik Disiplin Terburuk”.
Kekerasan fisik bukan sekadar memukul pantat (spanking) atau mencablek (swatting). Windell tahu masuk banyak orangtua yang memandangnya hukuman fisik sebagai teknik disiplin yang sah. Yang dimaksud Windell dengan kekerasan fisik adalah memukul keras dengan tangan atau benda (hitting), memukuli berkali-kali (beating), menampar, meninju, dan beragam bentuk serangan fisik terhadap anak.
Orangtua masa sekarang sebenarnya sudah jauh lebih sadar ketimbang orangtua di masa lampau betapa seriusnya dampak kekerasan fisik bagi kesehatan mental anak. Anak bisa mengalami kehancuran harga diri, berbagai masalah dan gangguan perilaku yang terbawa sampai dewasa. Sangat mungkin, pengalaman diserang secara fisik ketika kanak-kanak akan menghasilkan perilaku kekerasan di masa dewasa, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan berbagai bentuk tindak kriminal serta kekerasan lain. Tidak ada bukti bahwa menggunakan kekuatan fisik pada anak-anak menghasilkan apa pun yang positif dalam hidup mereka.
Satu contoh penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh orangtua, yang bisa digolongkan serangan fisik, diilustrasikan dalam satu situasi di antara Ibu B dan M, putrinya yang berumur 7 tahun.
Pada suatu hari kerja ketika Ibu B hendak menitipkan anak-anaknya ke seorang pengasuh (selain M, ia punya anak lelaki berumur 6 tahun), M sepertinya bertekad untuk tidak mau bekerjasama. Ibu B merasa makin tegang karena berkejaran dengan waktu. Ia bergegas menyiapkan diri untuk ke kantor sementara mengemasi perlengkapan yang dibutuhkan anak-anaknya di rumah sang pengasuh. M dengan keras kepala berlambat-lambat ganti baju lalu merengek minta disuapi.
Ibu B mencoba sesabar mungkin sementara dia menjelaskan pada M bahwa dia akan makan di rumah sang pengasuh dan dia betul-betul tak punya waktu untuk membantu M sekarang. M lalu menangis keras-keras, menghentak-hentakkan kaki, dan memaki ibunya, “Ibu nakal!”
“Terserah apa katamu!” jawab Ibu B. “Kamu tetap harus ganti baju untuk pergi ke rumah pengasuh dan maaf Ibu tak punya waktu untuk menyuapimu.”
Sesaat kemudian, pengasuh itu datang menjemput. Anak lelaki Ibu B keluar rumah untuk menyambutnya. Tapi M menolak menemuinya, dan terus-menerus melontarkan kata-kata yang menyakiti hati ibunya. Ibu B mulai merasa putus asa sementara dia mengawasi jam dinding sambil memoleskan lipstik.
“Ibu peringatkan ya!” dia berteriak ke arah M. “Pergi dan ikut Mbak X atau kamu akan mendapat masalah besar!”
M menyambar ranselnya dan menjerit sementara ia mendorong pintu sekuat tenaga. “Aku nggak mau lagi tinggal di sini!” Itu adalah hantaman terakhir sebelum kesabaran Ibu B runtuh. Dia juga lari mengejar M yang sedang menyeberangi pekarangan. “Kalau kau berani keluar dari pagar, tahu rasa nanti!” ancamnya.
M tidak peduli dan terus berlari. “Ibu pukul kamu kalau kau tidak kembali!” teriak Ibu B sementara anak lelakinya dan sang pengasuh memandang tertegun. Ibu B melangkah kaki lebar-lebar untuk menjajari M. Begitu ibu B menyambar leher bajunya, M mulai merengek dan mengubah nada suaranya.
“Iya, iya! Aku pulang! Jangan pukul!”
“Telat!” sahut Ibu B dan dengan diamati oleh si pengasuh dan satu atau dua tetangga, dia mulai memukuli pantat M dengan tasnya. M mulai menangsi melolong dan lari menuju rumah, melepaskan diri dari cengkeraman tangan Ibu B di jaketnya.Terjadi kejar-kejaran lagi. Ibu B terengah-engah menyusul anak perempuannya sambil memarahi M yang telah membuatnya terlambat ke kantor. Dia menangkap M sebelum sempat melewati pintu depan. M menjerit, “Lepaskan aku, Ibu jelek, nakal!”
Ibu B betul-betul kehilangan kendali kali ini. Sambil menjerit balik, dia mulai memukul membabi buta, hantamannya mengenai pundak dan mendarat dua kali di muka M. Ketika M terjatuh, Ibu B menariknya paksa supaya berdiri. Sambil berseru-seru, “Ampun, Bu!” M ditarik ke arah si pengasuh.
Ini situasi yang umum terjadi di banyak keluarga ketika orangtua stress dan anak-anak tidak bersedia menurut segera. Kekerasan fisik yang terjadi jarang sekali menghasilkan apa pun yang berguna untuk perkembangan anak. Sebaliknya, sikap seperti itu hanya melahirkan kemarahan, kebencian, sikap permusuhan, dan sering pula hasrat untuk membalas dendam kepada orangtua yang telah melakukan kekerasan fisik itu. (Bersambung)
Serial artikel 10 Teknik Disiplin Terburuk:
1. Kekerasan Fisik
2. Paksaan/Ancaman
3. Teriakan/Bentakan
4. Tuntutan Seketika
5. Nagging (Desakan)
6. Ceramah Moral
7. Reaksi Emosional Berlebihan
8. Mempermalukan
9. Memasang Perangkap
10. Membangkitkan Rasa Bersalah Berlebihan
no replies